Powered by Blogger.

Masih Ada Syetan Berkeliaran di Bulan Ramadhan (Kisah Nyata)



Sebuah rumah besar yang terbuat dari kayu tampak berdiri kokoh di tengah desa Semuntul. Rumah itu tidak beda jauh dengan rumah-rumah lainnya di kampung yang terletak persis di tepi Sungai Musi tersebut. Masyarakatnya yang sebagian besar mengandalkan hidup dari bertani dan nelayan hanya mampu menyediakan kayu dan papan sebagai bahan untuk membangun rumah. Maklumlah, di sana hutan dan kayu-kayu liar masih teramat luas bahkan sebagian tidak terjamah oleh manusia, sehingga mereka selalu bergotong royong membangun rumah-rumah penduduk dari hasil pengolahan kayu yang liar.
Malam itu suasana rumah kami tampak senyap dan sepi. Padahal waktu telah menunjukkan pukul dua malam. Biasanya ibuku sudah sibuk di dapur memasak untuk keperluan sahur. Ah, ibuku pasti senang berada di kota saat ini, karena ia sedang berkumpul dengan saudara-saudaraku yang bersekolah di sana. Ibu memang rutin mengunjungi mereka setiap bulan. Sekalian memberi uang belanja bulanan buat mereka. Sedangkan aku masih sekolah di kampung, karena usiaku sendiri pada saat itu baru tujuh tahun, tapi aku sudah duduk di bangku SD kelas tiga. Dan malam itu hanya aku dan ayahku yang menghuni rumah tua tersebut, dinginya malam yang diterangi oleh sinar temaram rumah penduduk dan kelap kelip lampu nelayan di Sungai Musi telah melukiskan kelengangan yang mencekam. Aku hampir tak bisa memejamkan mata, karena memikirkan sesuatu yang sebetulnya aku sendiri tidak tahu apa itu sesuatu yang sedang difikirkan.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang masuk ke dalam lubang telingaku. Aku terkejut dan meronta. Tapi ia terus menusuk hingga aku berlari ke rumah bagian depan menuju kamar ayah yang berada di sana. Sambil mengorek-ngorek telingaku tak henti-hentinya aku memanggil ayah hingga ayah keluar dan dengan heran melihat aku seperti orang kesakitan dan ketakutan. Setelah aku jelaskan apa yang sedang aku rasakan ayah segera keluar rumah mengambil tangkai daun pepaya yang tumbuh di sana, lalu ia membakar tangkai daun tersebut dan meniupkan ke telingaku. Sesuatu yang berada di situ perlahan menghilang dan akhirnya aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Setelah mengucapkan kata terima kasih, aku bersiap mau kembali ke kamarku yang berada jauh di bagian belakang. Dan sekali lagi ada sesuatu yang mengejutkanku lagi. Sekelebatan bayangan beberapa orang berpakaian putih berjalan di koridor ruang tengah. Tak kurang dari sembilan sosok berbaris dihadapanku sambil membelakangi. Lalu menghilang ke balik tabir jendela. Aku tersentak dan menjadi kaku. Mau membalik ke kamar ayah tapi kakiku tak bisa melangkah. Mau menjerit kerongkonganku terasa tercekat. Akhirnya kubiarkan jiwa dengan perasaan menerima dan menghilangkan bayangan tersebut dari ingatanku, barulah kaki bisa melangkah kembali ke arah kamar ayah.
“Ada apa Du?” tanya ayah, ternyata beliau sudah berdiri di depan kamarnya
“Beberapa bayangan putih berjalan di ruang tengah dan menghilang di balik tabir jendela Yah” jelasku.
Ayah segera menuju ke tempat yang kumaksud. Namun ternyata tidak ada apa-apa. Aku kembali ke kamar tidurku. Kuarahkan mataku pada jam yang menempel di dinding, waktu menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh malam. Tidak berapa lama lagi sahur, fikirku. Jangan sampai tertidur, aku membisikki hatiku sendiri. Setelah beberapa jenak aku membaringkan tubuhku, sayup-sayup terdengar suara orang yang sedang bercakap. Sepertinya dari ruang depan. Dan obrolan tersebut semakin lantang. Aku bangun dari pembaringan dan membuka pintu kamarku.
“Silahkan ganggu jika bisa kau ganggu” itu jelas-jelas suara ayahku yang ditujukannya pada seseorang. Lalu aku melangkah ke depan dengan mengendap-endap untuk mengetahui dengan siapa ayah berbicara. Ternyata tidak ada orang lain sama sekali, ayah ngomong sendirian. Dan aku mendekat ke ayah.
“Ngomong sama siapa yah?” tanyaku
“Oh, nggak” jawab ayah. “Tidurlah lagi” lanjutnya. Tapi aku tak mau tidur di kamarku. Aku pindah ke kamar ayah. Karena aku merasakan udara yang tidak bersahabat. Bulu kuduk yang merinding berdiri tegak dengan tajamnya. Sekujur tubuh yang mulai dingin. Aura menakutkan seolah sedang mengitariku. Akhirnya ayah membiarkan aku tidur di kamarnya malam itu. Setelah makan sahur sekitar jam empat pagi, dari makanan yang diantar Bik Mina tetangga kami, aku tak mau tidur lagi. Kuikuti ayah yang langsung pergi ke mesjid dan tadarusan menjelang Subuh tiba. Karena tak kuat menahaan kantuk aku tertidur di mesjid tanpa sadar apakah aku sudah shalat subuh atau belum.
Ketika terbangun matahari sudah membakar sebagian tubuhku akibat cahayanya tembus lewat jendela mesjid yang ditutup kaca tipis. Aku bergegas pulang. Rumah tampak kosong, ayah sudah tidak ada. Tapi orang-orang ramai berlarian menuju satu arah, yaitu daerah persawahan. Aku yang penasaranpun jadi tertarik untuk ikut melangkah ke arah yang didatangi orang-orang kampung. Tidak begitu lama akupun tiba di kerumunan orang-orang. Dengan tubuh yang kecil dan pendek aku berhasil menyeruak hingga berada di tengah-tengah. Kulihat ayahku sedang berada di situ sambil memegang seseorang yang kesurupan. Orang tersebut tak lain adalah Mang Pardiman. Beliau sedang berada di sawahnya sendirian ketika tiba-tiba kesurupan sambil menjerit-jerit dengan mengeluarkan omongan yang tidak karuan.
“Ambil bawang merah” kata ayahku kepada Pak Ugeng yang berada didekatnya.
“Ah, bawang merah. Nggak takutlah. Itukan mainanku sehari-hari” jawab Mang Pardiman dengan suara yang agak aneh dan tertawa yang seram.
“Kamu nantang saya?” Ayahku membentak sambil mengeratkan pegangannya ke tangan Mang Pardiman
“Aku tahu Bapak keturunan orang hebat, tapi aku tidak takut” tantang Mang Pardiman
“Oh, begitu. Tolong Geng, jangan pakai bawang, ambil air putih seember, biar kita mandikan” ancam ayah.
“Takuuuuuut, jangan mandikan aku.....” pekik Mang Pardiman ketika ayah sudah mulai menyiram tubuhya dengan air yang diberikan oleh Pak Ugeng. Tapi ayah tak peduli, dia terus menyiramkan air secara bergantian di setiap bagian tubuh Mang Pardiman. Pekikan Mang Pardiman tidak dihiraukan sama sekali. Dan lama-lama Mang Pardiman menjadi lemas dan terkulai. Terdengar suara tawa yang menakutkan mulai menjauh dari kerumunan orang-orang dan Mang Pardiman kedapatan dalam kondisi pingsan.
“Bawa ke rumah” kata ayah. Entah ditujukan kepada siapa permintaan tersebut, tapi yang jelas orang-orang di sekitar situ langsung menggotong tubuh Mang Pardiman ke rumahnya.
“Rombongan syetan itu semalam datang bersembilan” kata ayah memulai ceritanya kepada penduduk kampung. “Mereka sudah membentuk kelompok, dan akan terus mencari anggota-anggota baru untuk bergabung bersama mereka. Ketuanya si Haji Mamat yang meninggal sekitar setahun yang lalu ketika kedapatan menyelingkuhi isteri orang, lalu mati dikeroyok massa. Lantas ada perempuan yang bernama Moya, meninggal kena santet akibat terlalu sering menyakiti hati orang lain. Dan yang lain-lainnya adalah orang-orang yang meninggal dalam kondisi tidak baik, sehingga bergabung dengan kelompok Haji Mamat tersebut, sekarang mereka mencari mangsa terus untuk bergabung dengan kelompok mereka, untung Mang Pardiman cepat diketahui, kalau tidak mungkin sudah meregang nyawa” jelas ayah lagi.
“Lalu kenapa Mang Pardiman yang diganggu” tanya salah seorang penduduk kampung yang bernama Supra.
“Karena Mang Pardimanlah yang paling memungkinkan untuk bisa diganggu” kata ayah.
“Kenapa?” Tanya Supra lagi
“Lihat saja ibadahnya Mang Pardiman. Apa pernah dia ke Mesjid? Apa pernah melihat dia membasuhi tubuhnya dengan wudhu? Maghribpun dia masih di sawah, apalagi ibadah yang lain, tadipun dia tidak berpuasa” ayah menerangkan sebab mudahnya Mang Pardiman dirasuki roh halus tersebut. Mendengar penjelasan tersebut kami semua tertegun dan berfikir untuk tidak meninggalkan ibadah yang diperintahkan Allah apalagi Shalat lima waktu yang sangat sakral sebagai tiang agama dan juga merupakan mini atur atau kumpulan dari ibadah-ibadah lainnya. Hidup memang tidak boleh lepas dari amal ibadah. Karena tanpa itu apapun yang kita lakukan tak pernah mendatangkan kebahagiaan yang hakiki. Hidup seperti itu semakin lama akan semakin gelap dan pekat. Kita tak lagi mempunyai teman, selain amal baik. Harta, pangkat, jabatan, yang mati-matian kita cari semuanya tidak ada yang mampu menolong kita. Bahkan mungkin tumpukan harta yang kita tinggalkan malah memperberat kita karena dipakai maksiat oleh anak dan keturunan kita. Sedangkan kematian tidak bisa ditangguhkan. Mungkin saat itulah kita melolong-lolong menjerit penuh penyesalan. Ketika itulah akan kita rasakan gemeretaknya tulang-belulang di sekujur tubuh hancur luluh dihimpit oleh kubur yang teramat benci kepada jasad yang sarat bergelimang dosa. Ketahuilah bahwa kematian itu pasti, dan siksa kubur pun pasti bagi orang yang tidak mempersiapkan diri. Lalu apakah yang akan kita alami sesudah kematian nanti? Adalah hari pembalasan, adakah pernah terfikirkan bahwa kita nanti di akhirat akan dibalas sesuai dengan amal perbuatan kita di dunia? Pandanglah dunia ini, begitu banyaknya ketidakadilan menyelimuti kehidupan manusia di bumi ini. Mudahnya nyawa manusia tak berdosa hilang tanpa alasan yang jelas, banyak kaum yang tertindas oleh penguasa, banyak orang yang dibakar karena disangka pencopet atau pencuri padahal mereka tidak pernah mencopet maupun mencuri. Na'udzubillah, dan banyak pula yang mati tanpa pernah diterima bumi dan langit hingga rohnya bergentayangan menunggu kiamat tiba. Hari Pembalasan, masa dimana tidak ada lagi kesempatan beramal baik yang menyelamatkan kita. Semoga kita semua dijauhkan dari hal-hal yang demikian.

0 komentar:

Post a Comment

Bila link rusak atau error segera laporkan pada kolom komentar